Time flies. People go. Friend lost. Music stopped. I’m alone. They’re gifted. I’m not. They’re gorgeous. I’m poor. Everything has changed.
Pagi ini begitu membiru tapi, dandananku sudah rapi. Aku memakai atasan putih dengan motif bunga berwarna biru, jilbab paris biru tua, dipadukan celana jeans, dan flat shoes. Ya, celana jeans. Stok rok milikku sudah habis. Dasar wanita…
Disinilah tempatku berdiri hanya dengan seorang diri. Di depan Puskesmas Keputih. Sebelah kanan ku jumpai pohon yang masih belum tumbuh menjulang, sedangkan sebelah kiri hanya barisan rumput liar yang merambat. Aku berpijak pada salah satu batu kokoh yang tak terlalu tinggi letaknya dari permukaan tanah. Dengan kondisi seperti ini, sudah pasti aku tak memiliki teman bicara. Tak banyak yang dapat ku lakukan saat ini, padahal aku tahu aku akan lama menunggu disini. Aha… aku tahu!
Novel terjemahan Dead Girl Walking karya Linda J. Singleton ku keluarkan dari tas tangan. Aku sudah pernah membacanya. Tapi, why not if I wanna re-read to waste my time right now? Sepertinya ini bukan ide bagus. Agaknya hari ini moodku kurang baik. Konsentrasiku mudah terpecah, ini adalah alasan terkuat untuk memasukkan kembali novel ini.
Aku menunggu tanpa ada hal lain yang dapat ku lakukan. Mataku menatap nyalang pada bisingnya jalanan. Aku mengingat dan mengenang harapan-harapan yang telah terkikis, one by one, day by day. Seandainya ketika manusia sedang berpikir keras itu mampu menghasilkan uang, maka aku sekarang sudah menjadi milyarder mungkin.
Aku mengamati secercah cahaya dari kejauhan. Bukan kaca spion kendaraan yang berlalu lalang. Tapi, seorang wanita paruh baya. Seorang ibu yang membonceng dua putranya sepulang sekolah dengan motor yang brandnya terbilang masih low-class. Kau tahu, apa yang paling membahagiakan dari moment ini? Bukan karena kulit putih besinar, sebab beliau tidak begitu. Bukan pula perawakan model yang biasanya berjalan melenggang di catwalk, sebab beliau juga tidak begitu. Tapi, karena senyumnya. Senyum ibu yang terbilang sudah tidak muda lagi usianya. Senyum saat bercengkrama dengan putranya. Setelah kuamati lebih lama, senyum itu merekah dan berubah menjadi tawa kecil. Beliau begitu anggun dengan kepalanya yang tertutup jilbab putih panjang dan busana ala muslimah yang ia kenakan. That’s sweet.
Saat ini, memikirkan untuk menjadi seorang ibu di kemudian hari bukanlah perkara yang mudah. Mendidik putra-putranya agar tumbuh menjadi seseorang yang baik itu lebih susah daripada menghafalkan berbagai macam mata pelajaran sekolah. Melihat semangatnya, kekuatannya, itu lebih valueable ketimbang melihat para siswa yang mengejar-ngejar gurunya untuk mendapatkan the things that called value itu sendiri. Cukup lama aku mengamati ibu paruh baya tadi, kemudian aku kembali normal. Aku sadar, aku begitu memalukan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang lemah terlebih itu atas kuasaku. Aku malu tumbuh menjadi gadis yang pandai mengeluh.
Bitter-sweet that is life. Sometimes, we get so many pressure in life until we forgot that we deserve to be happy.
Mengutip kata-kata salah satu penulis favoritku, Asma Nadia bahwa ujian tak boleh membuat kita kehilangan harapan. Karena doa adalah titik embun yang menjelma cahaya, manakala mimpimu gulita atau harapan tak menemukan jalannya.
Aku menghitung, setidaknya ada 10 hal yang dapat menjadi alasanku untuk menangis dan terus bersedih setiap hari. Tapi, sayangnya justru nikmat dariNya yang tidak terhitunglah yang menjadi pencegahku untuk tidak memiliki hari-hari se-gloomy itu. Sehingga hanya rasa bahagialah yang tersisa. Hidup itu selalu bitter-sweet. Tapi, senyum itu bisa men-sweet-kan sesuatu yang bitter. Just smile :)
Repost, Source : Tumblr Nurul Isti
Komentar
Posting Komentar