Langsung ke konten utama

Merah Saga Manhattan

Oleh : Nurul Istiqomah

Dear, Abrian…
            Maaf, jika aku terlalu pecundang untuk menjadi berani mengatakan semua hal yang kurasa sudah mulai banyak yang berubah darimu.
Aku terbangun pada dini hariku, tak kujumpai ada pesan singkatmu. Aku bersabar… Ah, mungkin nanti pagi, pikirku. Aku menjalani hariku dengan begitu semangat, sesekali aku memeriksa ponsel belum juga ada kabarmu. Aku bersabar… Ah, mungkin nanti malam, kalau kau sudah tak sibuk. Senja tergurat di cakrawala, resahku semakin terpahat dengan sempurna. Senja hanya akan membuatku semakin menungguimu. Semakin mudah untukku menyelesaikan bait melankolisku. Hingga sajakku berakhir, sekedar untuk menanyakan ceriakah hariku darimu pun tak ku dapati. Lagi, aku menutup hariku dengan secangkir teh yang memaksaku untuk menelan kekecewaan. Begitu setiap hari.
Jika menjalin percakapan kecil tanpa arah hanya akan membuat perdebatan-perdebatan, maka kupastikan kau tak kan pernah tahu bahwa jarak diantara kita saat ini semakin terbentang begitu jauh. Kau tak perlu lagi mengkhawatirkan aku sudah makan atau belum. Karena aku telah memilih menyimpan rapi namamu dan tak kan lagi mengusikmu.

Manhattan, NY
25 Maret 2014

Iliana Rose
***

Kuakhiri surat Iliana dengan setengah melempar di atas tumpukan kanvas putih yang telah kutinggalkan selama tiga bulan terakhir ini. Lipatannya mungkin sudah tak serapi saat pertama kubaca. Namun, seperti penutup suratnya ‘…aku telah memilih menyimpan rapi namamu….pun juga berlaku untukku. Aku mengacak rambutku dengan frustasi. Bahkan mungkin telah berpeluh pada kedalaman hati. Jiwaku tertinggal pada gadis yang selama ini kudambai namun, sempat tak kupeduli. Memikirkan bentang ribuan kilometer yang terlihat nyata hanya akan semakin menambah kehampaan diri.
Aline melambaikan tangan tepat di depan mataku. Mataku mengerjap dan kemudian menyadari bahwa aku melupakan keberadaannya sedari tadi.
“Jadi, bagaimana? Apakah enam bulan terakhir ini, kau tak pernah mendengar kabar Iliana?” seraya melipat tangannya dengan rapi diatas meja, Aline mulai berbicara serius. Kugelengkan kepala, mataku menatap sekeliling dengan nyalang.
“Bri, kau kurang usaha !”
“Kurang usaha kau bilang? Aku sudah coba untuk menghubunginya, tapi nihil. BBM dan messanger yang lain hanya delivered tanpa ada kejelasan. Aku harus mencarinya kemana lagi?”
“Sampai disitukah usahamu?” Aline memutar bola matanya, kemudian mengeluarkan secarik kertas putih, “Sepengetahuanku, dua bulan sebelumnya ia mengirimkan sebuah aplikasi ke salah satu media di Manhattan sebagai content writer, ia pun tak menyangka akan diterima. Tiga hari sebelum keberangkatannya, hanya ini yang ia tinggalkan kepadaku. Disana ia tinggal bersama kerabatnya di sebuah distrik permukiman. Ia berharap aku dapat mengunjunginya, namun kuberi ia pemahaman dalam waktu dekat ini aku belum dapat mengunjunginya.”
            Keheningan terajut di dalam ruangan ini. Ruang dimana aku selalu menumpahkan segala inspirasi yang memenuhi otakku. Tumpukan kanvas, easel yang berjajar, palet, dan warna-warni cat yang berceceran cukup menunjukkan betapa berantakan sekali perasaan pemiliknya.
“Aku harus segera pergi karena aku ada urusan. Coba pertimbangkan ini dengan baik.”
“Iya, terima kasih Aline. Kau banyak membantuku.”
Aline melenggang keluar, sesampainya di ambang pintu ia meneriakiku, “Oh iya, sesekali rawatlah dirimu dengan baik !” hanya kubalas dengan seyuman ringan.
            ‘Stuyvesant Town at 252 1st Avenue & East 15th Street, New York, NYC 10009’ tulisan tangan Iliana adalah kesan pertama yang kulihat saat membuka lipatan kertas ini. Mataku hanya dapat menatapnya dengan nanar. Sementara gejolak batinku terus menyuarakan kebimbangan. Apakah aku harus menjemput cinta atau hanya berpuas diri dengan menungguinya disini tanpa tahu kapan ia kembali?
***
            Setengah jiwa terbang, hilang, ditelan angkasa. Sementara setengahnya meronta-ronta memanggil belahan yang lain. Ia terkungkung dalam kegelapan tempurungnya. Secercah cahaya meminta untuk dijemput, maka berlarilah, terbanglah sejauh semampunya. Bawa kebahagiaan dalam genggaman, untuk membingkai kasih bukan hanya sebagai kenangan.
***
            Bandara Internasional John F. Kennedy masih terlihat sama sibuknya seperti setahun yang lalu. Yang kurasakan saat ini adalah pegal-pegal di seluruh badan membuatku ingin menerobos antrean pemeriksaan keamanan. Tapi, itu terlalu berbahaya untuk dilakukan disini – di negara dengan sistem keamanan yang sangat ketat.
            Terbebas dari antrean menyebalkan itu, arrival gate pun adalah satu-satunya tujuanku agar cepat rehat di transportasi umum. Sekeluarnya dari sana, taksi dengan warna kuning menyala bertebaran sejauh mata memandang.
Can you drive me to the Lower Manhattan, Sir?
Of course ! with my pleasure,” dengan senyum hangat taxi driver dengan perawakan kurus tinggi ini menyambutku dengan baik.
***
            Manhattan adalah salah satu dari lima borough  di kota New York. Merupakan divisi sentral dari New York, sehingga ketika ada seseorang yang menyebut New York City, maka sebenarnya yang dimaksud adalah Manhattan. Gedung-gedung pencakar langit dikenal sebagai ciri khas dari kawasan ini. Oleh sebab itu, Manhattan tak pernah mendapatkan penyinaran matahari secara penuh setiap harinya. Karena gedung-gedung yang menjulang tinggi memayungi siapapun yang melintasi kawasan ini.
            Dikenal sebagai CBD (Central Business District), Manhattan disibukkan dengan berbagai aktivitas bisnis. Kecepatan gerak orang-orang yang berada disini, membuatku berusaha untuk mengimbangi tiap-tiap langkah mereka. Suara sepatu yang berderap bertalu-talu menunjukkan betapa berharganya waktu satu detik untuk terbuang. Irama seperti ini menjadi salah satu bagian favoritku untuk berjalan di kawasan paling mahal di dunia. Too crowded, so classy !
            Mencari sebuah penginapan di Manhattan tak serumit yang kubayangkan. Dengan penataan kota bersistem grid yang serapi ini akan memudahkan setiap orang baru yang mengunjunginya, dimana jalan-jalan yang berarah timur-barat disebut street sedangkan yang berarah utara-selatan disebut avenue. Aku memilih sebuah motel di pemukiman Soho untuk kutinggali beberapa hari.
***
            Malam semakin temaram, tak banyak yang dapat kulakukan disini. Walau di luar sana julukan Manhattan sebagai ‘The city that never sleeps’ masih sangat berlaku. Tapi, lain halnya denganku, menghabiskan waktu dengan duduk di perapian untuk sekedar menghangatkan tubuh sudah cukup untukku. Mengingat bulan Oktober telah memasuki musim gugur.
            Aku teringat akan suatu hal, tanpa berpikir panjang aku bergegas menuju keranjang tempat pakaian kotor. Saku celana dan kemeja biru yang kugunakan selama perjalanan Jakarta - Manhattan menjadi sasaran utamaku. Kurogoh tiap-tiap sakunya, mencari sesuatu yang sangat vital untuk saat ini. Namun, kosong. Tak kutemui secarik kertas yang bertuliskan alamat tempat tinggal Iliana.
            Kuraih ponsel untuk menghubungi Aline. Sial saja, aku baru ingat kalau tak punya kontaknya yang baru. Pertemuan beberapa waktu yang lalu juga terjadi karena tak kesengajaan. Bodohnya, aku tak membuat salinan alamat Iliana dalam bentuk apapun. Atau aku hubungi Iliana? Yah, coba saja. Tut.. tut.. tut.. tut.. aku mengulang sesuatu yang sebenarnya sudah aku tahu bagaimana akhirnya, bahwa tak akan pernah ada jawaban dari seberang sana. Akan kucoba mengirim pesan singkat untuknya.
Iliana, betapa disini aku merinduimu. Kau tak pernah menjawab teleponku atau membalas rentetan pesanku. Sebenarnya kau ada dimana? Saat ini aku sudah berada di Manhattan untuk menemuimu, namun betapa sialnya aku yang tak pandai menjaga secarik kertas bertuliskan alamatmu. Apakah kau bersedia berjumpa denganku?”
Satu jam.. dua jam.. tiga jam berjalan. Ponselku tak juga berdering. ‘Tes.’ Kuakhiri pesan singkatku, aku hampir menyerah menghadapi betapa bekunya hati Iliana.
***
High Line Park, Manhattan
            Banyak orang berlalu lalang menikmati betapa sejuknya jalan kereta barang yang dibentuk menjadi sebuah taman kota ini. Sementara aku? Aku hampir frustasti menjalani satu hariku di negeri ini. Tapi, Manhattan terlalu indah untuk disia-siakan. High Line Park menjadi pilihanku untuk menumpahkan semua inspirasiku. Dengan sebatang pensil dan kertas gambar yang selalu kubawa, aku mulai menggurat diatasnya. Menggurat dengan indah si pemilik kerudung bermotif bunga dengan senyumnya yang melembut. ‘Triing.. 1 pesan diterima’
From : Iliana Rose. Jika kau masih ingin bertemu denganku, tunggu aku di Central Park sore ini.’
***
Central Park, Manhattan    
Aku duduk pada salah satu spot dimana aku dapat mengamati para remaja USA bermain skateboard, ice skating, tampak pula beberapa orang yang menunggangi kuda. Musim berangin menambah gejolak perasaanku yang saat ini terlalu rumit untuk diceritakan. Ini terasa seperti seseorang yang baru pertama kali akan melakukan kencan dengan kekasihnya. Padahal sama sekali tidak bagiku.
“Hei, sudah lama menunggu ?” ujar wanita di belakangku yang suaranya sudah kukenali dengan begitu baik.
“Eh… Iliana?” kebahagiaanku membuncah, bekuan rasa rindu perlahan mencair. Matanya berkaca-kaca, ia menggigit bibir bawahnya. “Hei, jangan menangis. Maafkan pengabaianku selama ini,” ujarku menenangkan dan merengkuh telapak tangannya yang dingin.
“Abrian.. aku pun bersalah telah mengabaikanmu. Aku tak pernah berpikir bahwa kau akan kesini.”
“Pada akhirnya, belahan jiwa akan mencari belahan lainnya saat kehilangan salah satunya. Kita sama bersalah, tapi bukan untuk saling menyalahkan. Kita berada disini untuk merajut kembali tali kasih yang sempat terkikis oleh ego masing-masing.”
            Kami menyewa perahu untuk menyusuri danau Central Park. “Oh iya, mengapa kau mengajakku ke tempat ini Iliana?”
“Hmmm..” ia tersenyum sampai matanya menyipit. “Kau tahu, banyak orang yang mengatakan bahwa Central Park adalah tempat terbaik untuk menghabiskan senja di musim gugur. Dedaunan yang menguning didukung oleh gurat senja langit Manhattan terasa manis untuk dilalui. Mungkin karena kau menjatuhkan hatimu pada senja, sehingga aku hanya memikirkanmu setiap kata ‘senja’ terlintas.”
            Wajahnya merona bahagia. Betapa tak ada alasan untukku dapat menyakitinya. Kami terus mengayuh. Dedaunan terus berjatuhan. Sedang Manhattan yang kian memerah saga menyaksikan.

*END*
Published first on : Buku Kumpulan Cerpen Antologi 'Senja Jilid II'


Senja #2
Copyright © 2015 by Diah Woro Susanti, dkk
183 hlm; 13 x 19 cm

Editor: Muhrodin AM
Layout: Lavira Az-Zahra
Design: Lavira Az-Zahra
ISBN: 978-602-0937-48-9

Cetakan pertama, Februari 2015
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.

Penerbit:
Pena House
Jalan KNPI Gg. Cendrawasih,
Bangkle, Blora, Jawa Tengah, 58200.
Phone: 08995718264
Email: azzahra.house834@gmail.com
Website : www.penahouseagency.blogspot.com

Harga:
45ribu (umum)

as contibutor 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Psikologi Kepribadian : Analisis Kasus I Berdasarkan Teori Psikodinamika, Behavioristik, dan Humanistik

TEORI KEPRIBADIAN ANALISIS KASUS I : NEIL & SANDY (Nurul Istiqomah – 1511505338) Kasus I :

BIRTHING STORY : Afra Kayyisa Ailani

Jum'at, 11 September 2020 Malam itu adalah jadwal kontrol dengan bidan kesayangan, Bu Ismijati. Seperti biasa, aku berangkat ke klinik dengan penuh semangat dan mood yang baik. Tapi, ternyata itu tidak bertahan lama sampai aku mendengar hasil pemeriksaan kandungan.

Mind Mapping Teori Belajar - Psikologi Pendidikan

           Padatnya mata kuliah yang butuh presentasi dalam proses pembelajarannya kadang bisa bikin jenuh lihat tampilan Power Point yang gitu - gitu aja. Apalagi kalau kita nggak punya skill desain grafis yang oke punya. Bosen kan pastinya? Dari keresahan ini, aku mulai berpikir gimana caranya agar presentasi nggak monoton gitu - gitu aja . Memang sih, yang paling utama dalam presentasi adalah pembawaan dari pemateri. Tapi, dengan tampilan yang catchy akan menimbulkan kesan pertama yang baik bagi audience. (Yah, sesuai sama konsepnya Guthrie lah yaaa hehe).           So, aku kepikiran buat presentasi pakai Mind Mapping --demi efisiensi waktu dan nggak makan tempat--. Tapi, kalau mind mapping ditulis tangan sama aja bohong sih.. Okay, dari sini aku mulai cari software aplikasi penyedia e-mind mapping. Beberapa software sudah terdownload kemudian time to make trial and error map!