Oleh : Nurul Istiqomah
Dear Meine Alfara,
Ini adalah surat ke-21 yang telah kukirim untukmu. Kata orang, dengan melakukan sesuatu sebanyak 21 kali maka hal itu akan menjadi kebiasaanmu. Ya, memang benar saling berbalas surat denganmu seperti sudah menjadi sebuah candu untukku.
Apa kau tak jenuh dengan keadaan kita yang seperti ini? Tanpa pernah bertatap muka, kita seperti kura-kura yang bersembunyi dalam tempurung. Bahkan kura-kura saja tak serumahan itu. Bagaimana dengan kita? Rasa takut tak kan pernah mengantarkan kita untuk kemana-mana.
Aku hanya ingin mengajakmu untuk melihat zona luar rumahmu. Aku memikirkan sebuah rencana untuk liburan minggu depan. 1 Mei 2015, Stasiun Wonokromo Surabaya. Kita bertemu di tempat itu. Tiga hari sebelum keberangkatan, aku akan melakukan reservasi tiket untuk dua orang. Simply great place where we should be !
Aku tak ingin mendengar sebuah penolakan. Kau harus ikut denganku! Ini memang terdengar seperti sebuah pemaksaan. Tapi, kau tak akan menyesal setelahnya.
Ditulis dengan mengenangmu yang tak lelah meneguk ARV sepanjang hidupmu.
Much love,
Sharaya Manafi
***
Meine menutup surat sahabat penanya dengan segaris senyuman. Tangannya yang kurus, seperti sudah tak ada daya melipat kertas merah jambu itu dengan rapi. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir bahwa jika Sharaya sudah memiliki kemauan, tak satupun yang dapat menghentikannya.
Gadis sembilan belas tahun itu menopang dagu diatas kedua tangannya. Matanya menatap nyalang ke luar jendela kamar berukuran 4m x 5m yang ia tinggali selama lima tahun terakhir. Ia berpikir keras tentang rencana Sharaya yang mengajaknya untuk pergi ke luar rumah. Untuk pertama kalinya, seorang teman dengan tak ragu untuk mengambilnya dari sarang sepi tempat ia tinggal.
Stigma yang ia hadapi sebagai pendemi HIV+ membuat Meine merasa kikuk saat berhadapan dengan seseorang. Ia cukup bahagia memiliki teman melalui dunia maya dan tak perlu insecure.
“Ibu, seorang teman mengajakku untuk jalan-jalan minggu depan. Aku harus bagaimana?” dengan air muka pucat pasi Meine mencoba untuk memelas kepada ibunya.
“Tak akan ibu izinkan. Kau harus sadar diri bagaimana keadaanmu. Apa temanmu itu mau bertanggung jawab kalau suatu hal terjadi padamu, ha?” seperti biasa ibu tak pernah mengabulkan permintaannya untuk menghirup atmosfer di tempat lain.
“Tapi, Meine sudah besar. Meine ingin hidup wajar seperti gadis lain di luaran sana.”
“Tidak ada negoisasi. Ibu bilang tidak, ya tidak!”
***
Dengan semangat Sharaya mengemasi barang-barang bawaannya. Tak banyak. Karena ia tahu betul, tempat seperti apa yang akan ia kunjungi. Hanya saja, ada satu hal yang masih mengganjal hingga satu hari sebelum tanggal keberangkatan mereka. Meine tak kunjung membalas surat ke-21.
“Hmm.. dia tak mungkin tega membiarkanku pergi tanpanya. Setidaknya, jika memang Meine menolak, dia akan mengatakan sesuatu padaku. Tapi, dia tidak. Dia hanya diam.” Sharaya bermonolog.
***
Berpetualanglah, Anak Muda. Bawa ransel di punggung, berkelana. Tidak bisa jauh-jauh, maka bisa dekat rumah, lihat sekitar. Tidak ada alasan jika sudah niat. Itu akan membuat kita paham banyak hal. Menghargai perbedaan. Menghormati orang lain.
Beberapa penggal kalimat yang tercetus dari isi kepala Darwis Tere Liye menggugah jiwa Meine. Diambang kebimbangan, ia akan tetap pergi. Bagaimanapun caranya.
***
Mega-mega tergurat dengan sempurna di gugusan langit Surabaya. Kendaraan mulai merayap mengisi kekosongan ruas jalan. Kota ini hampir tak pernah tidur. Namun, masih punya seribu alasan baik untuk dapat ditinggali.
Angin berdesir memanja membelai-belai rambut Sharaya. Ia berjalan mondar-mandir dengan cemas karena setengah jam lagi kereta akan berangkat sedangkan Meine belum juga muncul. Dua kemungkinan : Meine memang benar-benar belum datang atau ia sadar betul bahwa ia memiliki kemampuan yang tidak baik untuk mengenali seseorang yang sebelumnya hanya pernah ia lihat melalui foto. Harapannya; Meine, kenali aku disini yang hampir putus asa menemukanmu..
Seseorang menepuk pundaknya, “Sharaya?”
“Me…ine?”
“Aaaahhhh…” mereka berpelukan, menimbulkan perhatian baru orang-orang yang melintas disini.
“Eits.. tunggu sebentar.” Sharaya menyudahi adegan saling memeluk itu, menarik langkah mundur, mengamati penampilan Meine dari atas hingga bawah.
“Meine, apa kau tak membawa ransel atau sejenisnya?” Sharaya mengernyitkan dahi dan dibalas dengan gelengan kepala Meine.
“Ehm.. aku hanya membawa ini.. bisa berhasil keluar dari rumah saja, sudah beruntung sekali,” Meine mengeluarkan koleksi obat-obatnya dan selembar uang lima puluh ribuan.
“Anak pintar…” Sharaya melembut, melebur menjadi satu dengan kelembutan Meine.
***
Dua jam perjalanan dari Surabaya – Pasuruan, belum cukup mengantarkan dua gadis belia itu untuk sampai ke tempat tujuan. Setibanya di Stasiun Lawang berdasarkan pengarahan warga setempat, mereka masih harus menggunakan transportasi bison untuk dapat mencapai tempat yang mereka inginkan – ehem, lebih tepatnya yang Sharaya inginkan --.
***
Kebun Raya Purwodadi
Diatas hamparan tanah seluas 85 hektare, terbentang 10.000 jenis pohon. Manusia di dalamnya masih lengang – tak padat pengunjung. Menawarkan kenyamanan yang tak mereka dapatkan sebagai manusia yang hanya terkungkung dalam sarangnya.
Meine – Sharaya memilih salah satu gazebo yang dekat dengan danau buatan. Melepas lelah. Saling mengenal kembali jiwa mereka yang sebenarnya. Percakapan kecil mengalir begitu saja. Meine yang tak banyak bicara, Sharaya yang pandai mencari bahan pembicaraan. Saat dua energi saling bersinergi, maka alam pun menjadi saksi bahwa jalinan persahabatan tak kan terhenti disini.
Pada danau dengan ukuran lebih besar, Meine ingin memanfaatkan fasilitas sewa perahu untuk mereka berdua. Keinginannya dikabulkan oleh Sharaya.
Langit kebun raya dipayungi oleh daun-daun lebat pepohonan. Percikan air tak hanya terdengar di telinga mereka, namun juga terekam sampai ke dasar jiwa.
“Sharaya, mengapa kau tak jijik berteman denganku?” Meine membuka percakapan sambil terus mendayung.
“Hei, dengar ! Selama dua tahun aku bergabung dengan organisasi peduli HIV/AIDS, aku punya alasan kuat mengapa aku mau mengenalmu. Pada awal mengenalmu, kukira itu sebatas hubungan antara relawan dengan pendeminya. Tapi, aku salah. Aku merasakan sesuatu yang lebih dari itu. Kau mengidap HIV+ juga bukan karena kesalahanmu, kan? Kau korban, Meine.. kau korban. Kau tak layak untuk dijauhi.”
Meine menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Sambil terus menahan, ia mencoba untuk berbicara lagi, “Kau terlalu banyak bicara Sharaya. Aku tak pernah menyangka bahwa aku seberuntung ini dapat mengenalmu. Aku tak tahu bagaimana pendemi HIV+ lainnya, menjalani hari-harinya..” tangisan Meine terpecah. Pun Sharaya.
“Aku ingin memelukmu, Meine. Tapi, bagaimana dengan perahu ini kalau oleng?” Meine tersenyum lebar dengan air mata yang masih membekas dengan begitu jelas di wajahnya.
***
Sebagai pejalan kaki di kebun raya, menyusuri tiap-tiap bagiannya adalah hal yang melelahkan dan tak mungkin untuk dapat dilakukan dalam waktu dua atau tiga jam. Sepanjang perjalanan, mereka sama tak mengerti jenis-jenis pohon apa yang telah mereka lalui. Nama-nama ilmiah terpampang pada setiap pohonnya dan dapat dipastikan mereka tak pernah mendengar jenis itu sebelumnya.
***
Perjalanan Meine-Sharaya, berakhir di air terjun Coban Baung yang terletak di luar sebelah timur Kebun Raya Purwodadi. Sebelum bermain air, Meine menenggak ARV-nya hasil paksaan dari Sharaya. Meine hanya perlu mengingat bahwa pada surat yang ia tinggalkan untuk ibunya di rumah, ia telah berjanji akan sampai rumah pukul delapan malam.
***
Keberhasilan sebuah perjalanan bukan dilihat dari seberapa hebat kau menaklukkan destinasi terbaik dengan sahabatmu. Melainkan, kau dapat berangkat dan kembali dengan selamat bersama teman terbaik seperjalananmu.
***
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com
Repost Source : Tumblr Nurul Isti
Komentar
Posting Komentar